Selasa, 23 April 2013

makalah tafsir pada masa tabiin





TAFSIR PADA MASA TABI’IN

           
Sebagaimana sebagian sahabat terkenal dalam bidang tafsir, sebagian tabi’in belajar dari mereka juga terkenal dalam bidang tafsir. Mereka bertumpu pada sumber-sumber yang ada pada masa awal, ditambah dengan pemahaman dan ijtihad mereka. Ustadz al-Dzahabi berkata, para mufassir itu bertumpu pada apa yang ada dalam Al-Qur’an sendiri, riwayat yang mereka ambil dari sahabat yang bersumber dari sahabat sendiri, riwayat yang mereka ambil dari ahli Kitab yang ada pada kitab-kitab mereka dan apa yang dibukakan oleh Allah kepada mereka melalui ijtihad dan penalaran terhadap Kitabullah.[1]
            Merupakan suatu keniscayaan bila para tabi’in juga menimba dengan timba mereka sendiri di dalam menafsirkan Al-Qur’an, karena alasan mendesak bahwa tafsir yang mereka riwayatkan dari Rasulullah SAW dan sahabat belum mencakup seluruh ayat Al-Qur’an, melainkan terbatas pada ayat-ayat yang sulit dipahami oelh orang-orang pada masanya. Dengan banyaknya pembukaan wilayah baru Islam, masuknya orang-orang non-Arab kedalam agama Islam dan jauhnya masyarakat dari masa Nabi SAW, kebutuhan akan tafsir sedikit demi sedikit bertambah berkaitan apa yang sulit mereka pahami. Karena itu mereka yang berkecimpung dalam bidang tafsir dari kalangan tabi’in perlu menyingkap kesulitan itu, menjelaskan masalahnya, menambah kejelasan bagi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tingkat kebutuhan dan pertanyaan mereka sambil berpegang teguh kepada sarana-sarana pemahaman, penelitian, prkatek-praktek berpikir dan bernalar, di samping riwayat ma’tsur yang mereka miliki.
A.    KUALITAS TAFSIR TABI’IN
Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in tidak diambil, karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya. Sehingga mungkin melakukan kesalahan dalam memahami apa yang dikehandaki oleh Al-Qur’an. Di samping itu keadilan (al-adalah, kualitas pribadi) tidak di nash, berbeda dengan sahabat.
Ibn Taimiyyah berkata, Syu’bah ibn al-Hajjaj dan yang lain mengatakan bahwa pendapat tabi’in bukanlah hujjah, bagaiman mungkin bisa menjadi hujjah di bidang tafsir? Yakni, pendapat mereka tidak bisa menjadi hujjah bagi yang lain yang memiliki pendapat yang berbeda. Ini benar. Adapun bila mereka sepakat mengenai sesuatu maka tidak diragukan lagi kehujjahannya. Sehingga pendapat sebagian bukanlah menjadi hujjah sebagian lain dan orang sesudah mereka. Hal itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an, sunnah, bahasa Arab atau pendapat sahabat.[2]
Sebagian mufassir berpendapat bahwa pendapat tabi’in di bidang tafsir di akui dan diambil, karena mereka menerimanya umumnya dari sahabat dan status mereka adalah adil.
Pendapat yang seyogyanya dipegang berkenaan dengan tafsir tabi’in ini adalah tidak harus diambil, kecuali dengan dua syarat, yakni :
  1. Yang diriwayatkan dari mereka bukanlah masalah yang merupakan wilayah ijtihad.
  2. Tabi’i yang bersangkutan tidak dikenal mengambil riwayat dari ahli kitab. Bila kedua syarat ini terpenuhi, maka bisa diambil dan bila tidak maka juga tidak bisa di ambil.[3]

B.     SEKOLAH-SEKOLAH TAFSIR YANG TERKENAL
1.      Sekolah Ibn Abbas di Mekkah
Banyak ulama tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqah ulama Mekkah mereka adalah murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di bidang ini. Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling populer ada lima, yaitu :
  1. Mujahid ibn Jabr
Ia adalah Mujahid ibn Jabr al-Makki Maula al-Sa’ib ibn Abi al-Sa’ib, murid Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah, alim dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam Shahih-nya danMujahid adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir. Diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas sebanyak tiga puluh kali.” Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali saja. Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang sampai 30 kali adalah untuk hapalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata, aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaiman ia turun.[4]
  1. Sa’id ibn Jubair
Ia adalah Muhammad Sa’id ibn Jubair ibn Hisyam al-Asadi, berasal dari Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam dari kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk pemuka dan imam tabi’in. Ia sangat menguasai tafsir , hadist dan fiqh. Ia telah berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir darinya. Di samping menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan menggunakan bacaan-bacaan itu.
Kemampuan qira’ah seperti itu telah memberinya keluasan untuk memahami Al-Qur’an, mengetahui makna-maknanya dan mencermati rahasia-rahasianya. Namun demikian, ia menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian ulama lebih mendahulukan tafsirnya dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn Abbas lainnya. Qatabadah rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in mengerti tafsir.[5]
  1. Ikrimah
Ia adalah Abu Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas, berasal dari Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufasissirin dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari Ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai negara. Ia pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan Khurasan untuk menyebarkan ilmunya.
Ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang keilmuan, khususnya dibidang tafsir. Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku lima orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’, Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid  melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan masalah ini.[6]
Dianatara pujian orang kepadanya adalah perkataan Jabir ibn Zaid bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim. Juga perkataan al-Syafi’i: Tidak ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dibanding Ikrimah. Dan masih banyak komentar-komentar yang memujinya dan menunjukkan status ilmiahnya. Meski demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan dengan ke-tsiqah-annya. Sebagian mengatakan ia adalah tsiqah, sedang yang lain mengatakan ia tidak tsiqah. Tak seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari berkata: Tidak seorang pun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.
  1. Atha’ ibn Abi Rabah
Ia adalah Abu Muhammad ibn Atha’ ibn Abi Rabah al-Makki, salah seorang maula Quraisy. Ia termasuk pemuka tabi’in. Ia meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat Rasulullah SAW., antara lain Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash. Bahkan ia pernah bercerita bahwa ia menjumpai sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah orang yang tsiqah, faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di Mekkah puncak fatwa kembali kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun.
Abdul Aziz ibn Rafi’ berkata, Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, aku tidak tahu. Dikatakan kepadanya: Mengapa engaku tidak menjawab dengan pendapatmu sendii? Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku sendiri di muka bumi ini. Ia meninggal pada tahun 124 H, menurut pendapat yang paling kuat.
  1. Thawus ibn Kaisan al-Yamani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani, orang pertama dari thabaqah Yaman dari kalangan tabi’in, berasal dari Persi. Kisra mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal disana dan menjadi ahli ilmu dan amal. Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat Nabi SAW. Sebuah riwayat menyatakan bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali. Ia mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a. berkata, saya menduga, Thawus adalah penghuni surga.
Ia juga meriwayatkan dari empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal ia adalah murid Ibn Abbas, karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak dibanding dari yang lain. Ia merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan takwa. Ia juga menjadi ahli ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.[7]
2.      Sekolah Ibn Mas’ud di Kufah
Seperti halnya di Mekkah muncul bintang yaitu Ibn Abbas. Di Irak muncul bintang lain yaitu Abdullah ibn Mas’ud yang diberi kepercayaan oleh Umar untuk memimpin Kufah.
Di tangannya muncul sejumlah tabi’in terkemuka, diantaranya :
a.      ‘Alqamah ibn Qais
Ia lahir disaat Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer dari Ibn Mas’ud. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad berkata, ia seorang tsiqah dari ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61 atau 62 H.
b.      Masruq ibn al-Ajda’ ib Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid
Ia seorang yang wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas’ud, disamping meriwayatkan pula dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di bidang tafsir, alim terhadap Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun  63 H.
c.       Al-Aswad ibn Yazid ibn Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman)
Ia termasuk pembesar tabi’in dan termasuk periwayat Ibn Mas’ud. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah, Bilal dan yang lain. Ia tsiqah saleh, mengena Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah tahun 74 atau 75 H.
d.      Murrah al-Hamadzani
Ia adalah Abu Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid, yang dikenal dengan Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah, sangat wara’ dan sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn Ka’b, Abdullah ibn Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ia di takhrij oleh para penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 76 H.
e.       Amir al-Sya’bi
Ia adalah Abu Amr Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi al-Tabi’i al-Jalil Qadli Kufah. Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn Mas’ud, meski ia tidak mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
Meski banyak ilmu, ia sangat berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan pendapatnya sendiri. Ibn Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id ibn al-Musayyab dan Amir al-Sya’bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur’an dan mereka menahan diri dari menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap hati-hati. Tiga hal yang aku tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati yaitu         Al-Qur’an, ruh dan ra’yu. Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang masyhur.
f.       Al-Hasan al-Bashri
Ia adalah Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar al-Bashri maula al-Anshar. Ibunya adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir setelah kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab.
Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan tabi’in. Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun, ilmuwan yang agung, fashih, tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai dikatakan bahwa ia adalah tuan kalangan tabi’in. Hadistnya ada di al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110 H dalam usia 88 tahun.
g.      Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi
Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas’ud, disamping meriwayatkan dari Anas ibn Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah dan yang lain. Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas wawasannya dibidang syair dan memahami benar sejarah Arab, silsilah mereka dan menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia sangat pandai dan bidang tafsir dan banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya panjang lebar, lalu ia membeberkan ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang berbagai pendapat dan tafsir serta menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit sekali engkau bisa menemui orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin saja. Ia wafat tahun 117 H dalam usia 56, menurut pendapat yang masyhur.[8]
3.      Sekolah Tafsir di Madinah
Adapun di Madinah al-Munawwarah, tempat memancarnya hidayah dan menancapnya iman, maka ustadz kaum tabi’in disana adalah seorang sahabat agung Ubai ibn Ka’b. Ditambah sahabat-sahabat lain yang memilih tetap tinggal di Dar al-Iman.
Dari kalangan tabi’in yang terkenal dibidang tafsir di Madinah ada tiga, yaitu :
a.       Abu al-Aliyah adalah Rafi’ ibn Mihran al-Rayyabi maula al-Rayyabi
Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk periwayat Ubai ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Rabi’ ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama memberikannya kesaksian akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah telah menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.
b.      Muhammad ibn Ka’b al-Quradhi
Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di samping meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia dikenal tsiqah, adil dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil Al-Qur’an. Ibn Aun berkata, aku belum pernah melihat orang yang lebih alim tentang takwil Al-Qur’an dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk pemuka warga Madinah dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 118 H.
c.       Zaid ibn Aslam
Ia adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi’in dan termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsqah-an dan keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir darinya, yang terkenal di antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar al-Hijrah. Ia wafat tahun 136 H.

C.    SUMBER-SUMBER TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Dari uraian diatas nyatalah bahwa tafsir pada masa sahabat tafsir ma’tsur-nya tidak lebih dari pendapat para sahabat. Adapun sesudah mereka, maka sekolah-sekolah tafsir di masa tabi’in telah berbuah dan berlimpah panennya. Banyak sakali pendapat tabi’in, di samping pendapat ahli Kitab yang sudah masuk Islam. Karena itu dapat diringkaskan sumber-sumber tafsir pada masa tabi’in sebagai berikut :
  1. Tafsir sebagai Al-Qur’an terhadap sebagian lainnya.
  2. Tafsir Rasulullah SAW terhadap sejumlah ayat.
  3. Tafsir yang berasal dari sahabat.
  4. Tafsir yang diambil tabi’in dari ahli Kitab yang telah masuk Islam yang sumbernya adalah Kitab-kitab suci mereka.
  5. Ijtihad para tabi’in sendiri sebagai buah dari kajian mereka terhadap Kitabullah dan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab.[9]

Kritik Terhadat Riwayat dari Tabi’in
            Dari uraian diatas jelaslah bahwa riwayat dari tabi’in memuat sekian riwayat dari ahli Kitab yang telah masuk Islam di samping pendapat dan ijtihad tabi’in sendiri. Riwayat seperti ini nilainya lebih rendah dan mendorng banyak ulama untuk menghindari riwayat dari mereka. Sudah dijelaskan perbedaan pendapat berkenaan dengan tafsir tabi’in dan pendapat mereka.
a.      Abdullah ibn Salam
Ia adalah Abu Yusuf Abdullah ibn Salam ibn al-Harits al-Isra’iliy al-Anshari sekutu Bani Auf al-Khazraji, merupakan generasi Yusuf ibn           Ya’qub a.s. Ia masuk Islam pada tahun hijrah pertama, ketika Rasulullah SAW. Imam Bukhari di dalam shahihnya mentakhrij sejarah masuk Islamnya sebagai berikut:
Ketika Nabi SAW datang, Abdullah ibn Salam mendatangi beliau, lalu berkata, aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah dan membawa kebenaran. Kaum Yahudi tahu bahwa aku adalah Tuan mereka dan Anak Tuan mereka, yang paling alim di antara mereka. Maka undanglah mereka. Tanyakan kepada mereka tentang diriku kepada mereka sebelum mereka tahu bahwa aku telah masuk Islam.
Abdullah ibn Salam termasuk orang-orang yang membela Utsman ibn Affan saat Utsman terbunuh oleh orang-orang membuat makar. Ia berkhutbah dihadapan mereka menyampaikan ancaman akan akibat buruk yang akan mereka peroleh. Namun mereka tidak mau mendengar nasehatnya. Tak lama kemudian mereka membunuh Utsman r.a. Ibn Salam meriwayatkan hadits dari Nabi SAW langsung. Yang meriwayatkan darinya adalah kedua putranya, Yusuf dan Muhammad, Abu Hurairah, Auf ibn Malik, Atha ibn Yassar dan lain-lain.
Posisi ilmiahnya
      Abdullah ibn Salam adalah Yahudi yang paling alim dan putra dari Yahudi yang paling alim, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang shahih. Kepadanya bergabung ilmu Taurat dan ilmu Al-Qur’an setelah ia masuk. Banyak mufassir yang telah meriwayatkan darinya mengenai berita-berita dan kisah (Isra’iliyyat). Ibn Jarir juga banyak menisbatkan kepadanya di dalam Tarikhnya berita-berita yang bersifat sejarah dan lainnya.      
b.      Ka’b al-Ahbar
Ia adalah Ka’b ibn Mani’ al-Himyari, yang dikenal dengan Ka’b al-Ahbar. Asalnya adalah Yahudi Yaman. Ada yang mengatakan bahwa ia menjumpai masa Jahiliyah dan masuk Islam pada masa Umar ibn Khaththab r.a. Ada juga yang mengatakan bahwa ia masuk Islam pada masa Abu Bakar. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia masuk Islam pada masa Nabi SAW. Namun hijrahnya agak belakangan. Pendapat yang mahsyr adalah bahwa ia masuk Islam pada masa Umar, sebagaimana dikatakn ibn Hajar.
Ibn Sa’d menuturkan di dalam thabaqah pertama dari kaum tabi’in Syam. Ia meriwayatkan dari Rasulullah SAW secara mursal. Ia juga meriwayatkan dari Umar, Shuhaib dan Aisyah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Hurairah, Ibn Abbas, Mu’awiyah, Atha’ ibn Abi Rabah dan lain-lain. Ia wafat pada tahun 32 H, menurut pendapat yang paling kuat.
Posisi ilmiahnya
      Ka’b al-Ahbar dikenal memiliki ilmu yang sangat luas, sampai disebut Ka’b al-Habr (yakni orang yang sangat alim) dan Ka’b al-Ahbar. Telah diriwayatkan darinya dibidang tafsir dan yang lain riwayat yang sangat banyak, yang menunjukkan keluasan wawasannya dan telaahnya terhadap dua kebudayaan, Islam dan Yahudi.
      Di dalam al-Thabaqat al-Kubra bahwa setelah masuk Islam, ia masih tetap merujuk kitab Taurat, dan dari segi kualitas pribadi. Ia adalah seorang yang tsiqah dan adil. Ibn Abbas, Abu Hurairah dan yang lain meriwayatkan darinya. Imam Muslim juga mentakhrijnya di dalam kitab Shahihnya.
c.       Wahb ibn Munabbih
Ia adalah Abu Abdillah Wahb ibn Munabbih al-Yamani al-Shan’ani, termasuk tabi’in pilihan dan ilmuwan mereka. Ia termasuk keturunan Persi. Orang tuanya berasal dari Khurasan. Kisra mengusirnya ke Yaman. Lalu ia masuk Islam pada masa Nabi SAW. Ia lahir tahun 34 H dan meninggal tahun 110 H. Ia termasuk ahli ibadah. Sampai selama 20 tahun ia salat Fajar dengan wudlu saat Isya.
Ia meriwayatkan dari Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudriy, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn Amr, Jabir dan Anas. Imam Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, al-Tirmidzi dan Abu Daud mentakhrijnya.


Posisi ilmiahnya
      Wahb ibn Munabbih sangat luas ilmunya, banyak menelaah kitab-kitab terdahulu dan menguasai berita-berita dan kisah-kisah tentang awal penciptaan. Ia juga menulis tentang perang-perang Nabi SAW dan berita-berita para raja.[10]
      Ia tertuduh sedikit condong kepada paham qadar, kemudian mencabutnya. Demikian riwayat al-Imam Ahmad. Hammad ibn Salamah meriwayatkan dari Abu Sinan, katanya ia mendengar Wahb ibn Munabbih berkata, aku pernah berpaham qadar. Sampai aku telah membaca lebih dari 70 kitab yang diturunkan kepada para Nabi. Semuanya menyebutkan: “Siapa yang menjadikan sedikit masyi’ahnya kepada dirinya sendiri, maka ia telah kafir.” Lalu aku mencabut pahamku itu.
Ini menunjukkan bahwa ia sangat menguasai banyak kitab samawi terdahulu, seperti ditunjukkan bahwa ia tidak lagi memegangi ideologinya yang sesat, yakni paham qadar. Melainkan ia beralih kepada paham yang benar, yakni akidah Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Karena itu tidak benar mengkritiknya dari sudut ini, setelah nyata bahwa ia telah mencabut paham sesatnya itu.








DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, oleh Ahmad Akrom, Jakarta: Raja Press 1992.

Al-Dzahabi,Muhammad Husein, al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Juz I, Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976.

Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008

Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990.

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an , Bandung,: Mizan: 1992

Yunus Hasan Abidu, Tafsir Alqur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, M. Ag, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007

Zainul hasan Rifai, Al-Qur’an; kisah Israiliyat dalam penafsiran Al-Qur’an, tertulis dalam Al-Hikmah; Jurnal Studi-Studi Islam, No. 13; Bandung: Yayasan Muthahhari, 1994