TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Sebagaimana sebagian sahabat terkenal dalam bidang
tafsir, sebagian tabi’in belajar dari mereka juga terkenal dalam bidang tafsir.
Mereka bertumpu pada sumber-sumber yang ada pada masa awal, ditambah dengan
pemahaman dan ijtihad mereka. Ustadz al-Dzahabi berkata, para mufassir itu
bertumpu pada apa yang ada dalam Al-Qur’an sendiri, riwayat yang mereka ambil
dari sahabat yang bersumber dari sahabat sendiri, riwayat yang mereka ambil
dari ahli Kitab yang ada pada kitab-kitab mereka dan apa yang dibukakan oleh
Allah kepada mereka melalui ijtihad dan penalaran terhadap Kitabullah.[1]
Merupakan suatu
keniscayaan bila para tabi’in juga menimba dengan timba mereka sendiri di dalam
menafsirkan Al-Qur’an, karena alasan mendesak bahwa tafsir yang mereka
riwayatkan dari Rasulullah SAW dan sahabat belum mencakup seluruh ayat
Al-Qur’an, melainkan terbatas pada ayat-ayat yang sulit dipahami oelh
orang-orang pada masanya. Dengan banyaknya pembukaan wilayah baru Islam,
masuknya orang-orang non-Arab kedalam agama Islam dan jauhnya masyarakat dari
masa Nabi SAW, kebutuhan akan tafsir sedikit demi sedikit bertambah berkaitan
apa yang sulit mereka pahami. Karena itu mereka yang berkecimpung dalam bidang
tafsir dari kalangan tabi’in perlu menyingkap kesulitan itu, menjelaskan
masalahnya, menambah kejelasan bagi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tingkat
kebutuhan dan pertanyaan mereka sambil berpegang teguh kepada sarana-sarana
pemahaman, penelitian, prkatek-praktek berpikir dan bernalar, di samping riwayat ma’tsur yang mereka miliki.
A. KUALITAS TAFSIR TABI’IN
Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in tidak
diambil, karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan
situasi dan kondisi yang menyertai turunnya. Sehingga mungkin melakukan
kesalahan dalam memahami apa yang dikehandaki oleh Al-Qur’an. Di samping itu
keadilan (al-adalah, kualitas
pribadi) tidak di nash, berbeda dengan sahabat.
Ibn Taimiyyah berkata, Syu’bah ibn al-Hajjaj dan yang
lain mengatakan bahwa pendapat tabi’in bukanlah hujjah, bagaiman mungkin bisa
menjadi hujjah di bidang tafsir? Yakni, pendapat mereka tidak bisa menjadi hujjah
bagi yang lain yang memiliki pendapat yang berbeda. Ini benar. Adapun bila
mereka sepakat mengenai sesuatu maka tidak diragukan lagi kehujjahannya.
Sehingga pendapat sebagian bukanlah menjadi hujjah sebagian lain dan orang
sesudah mereka. Hal itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an, sunnah, bahasa
Arab atau pendapat sahabat.[2]
Sebagian mufassir berpendapat bahwa pendapat tabi’in di
bidang tafsir di akui dan diambil, karena mereka menerimanya umumnya dari
sahabat dan status mereka adalah adil.
Pendapat yang seyogyanya dipegang berkenaan dengan
tafsir tabi’in ini adalah tidak harus diambil, kecuali dengan dua syarat, yakni
:
- Yang diriwayatkan dari mereka bukanlah masalah yang merupakan wilayah ijtihad.
- Tabi’i yang bersangkutan tidak dikenal mengambil riwayat dari ahli kitab. Bila kedua syarat ini terpenuhi, maka bisa diambil dan bila tidak maka juga tidak bisa di ambil.[3]
B.
SEKOLAH-SEKOLAH TAFSIR YANG TERKENAL
1.
Sekolah Ibn Abbas di Mekkah
Banyak ulama tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqah ulama Mekkah mereka adalah
murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di bidang ini. Mereka
adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir, sebagaimana disebutkan
oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling populer ada lima, yaitu :
- Mujahid ibn Jabr
Ia adalah Mujahid ibn Jabr al-Makki
Maula al-Sa’ib ibn Abi al-Sa’ib, murid Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah,
alim dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam
Shahih-nya danMujahid
adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir. Diriwayatkan
bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas sebanyak
tiga puluh kali.” Ada
juga riwayat yang menyatakan tiga kali saja. Tidak ada pertentangan antara
kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang sampai 30 kali adalah untuk hapalan,
bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang kedua adalah untuk penafsiran dan
penghayatan kandungannya. Mujahid berkata, aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn
Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa
ia turun dan bagaiman ia turun.[4]
- Sa’id ibn Jubair
Ia adalah Muhammad Sa’id ibn Jubair
ibn Hisyam al-Asadi, berasal dari Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari
imam-imam dari kalangan mereka. Yang terpenting adalah
Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk pemuka dan imam tabi’in. Ia sangat
menguasai tafsir , hadist dan fiqh. Ia telah berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir
darinya. Di samping menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan
menggunakan bacaan-bacaan itu.
Kemampuan
qira’ah seperti itu telah memberinya keluasan untuk memahami Al-Qur’an, mengetahui
makna-maknanya dan mencermati rahasia-rahasianya. Namun demikian, ia menahan
diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian ulama lebih
mendahulukan tafsirnya dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn Abbas
lainnya. Qatabadah rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in mengerti
tafsir.[5]
- Ikrimah
Ia
adalah Abu Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas, berasal dari
Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan
pembesar mufasissirin dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari
Ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai
negara. Ia pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan
Khurasan untuk menyebarkan ilmunya.
Ia
telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang keilmuan, khususnya dibidang
tafsir. Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku lima
orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’,
Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id
dan Mujahid melemparkan
pertanyaan-pertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir
kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat
ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan
masalah ini.[6]
Dianatara pujian orang kepadanya
adalah perkataan Jabir ibn Zaid bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim.
Juga perkataan al-Syafi’i: Tidak ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah
dibanding Ikrimah. Dan masih banyak komentar-komentar yang memujinya dan
menunjukkan status ilmiahnya. Meski demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan
dengan ke-tsiqah-annya. Sebagian mengatakan
ia adalah tsiqah, sedang yang lain
mengatakan ia tidak tsiqah. Tak
seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari berkata: Tidak seorang pun rekan
kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.
- Atha’ ibn Abi Rabah
Ia adalah Abu Muhammad ibn Atha’ ibn
Abi Rabah al-Makki, salah seorang maula Quraisy. Ia termasuk pemuka tabi’in. Ia
meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat Rasulullah SAW., antara lain Ibn
Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash. Bahkan ia pernah bercerita bahwa ia menjumpai
sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah orang yang tsiqah, faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di Mekkah
puncak fatwa kembali kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun.
Abdul
Aziz ibn Rafi’ berkata, Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab,
aku tidak tahu. Dikatakan kepadanya: Mengapa engaku tidak menjawab dengan pendapatmu
sendii? Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku sendiri di
muka bumi ini. Ia meninggal pada tahun 124 H, menurut pendapat yang paling
kuat.
- Thawus ibn Kaisan al-Yamani
Nama
lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani, orang pertama
dari thabaqah Yaman dari kalangan
tabi’in, berasal dari Persi. Kisra mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal
disana dan menjadi ahli ilmu dan amal. Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat
Nabi SAW. Sebuah riwayat menyatakan bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali.
Ia mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a. berkata, saya menduga, Thawus adalah
penghuni surga.
Ia
juga meriwayatkan dari empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal ia adalah
murid Ibn Abbas, karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak dibanding
dari yang lain. Ia merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan takwa. Ia
juga menjadi ahli ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.[7]
2.
Sekolah Ibn Mas’ud di Kufah
Seperti halnya di Mekkah
muncul bintang yaitu Ibn Abbas. Di Irak muncul bintang lain yaitu Abdullah ibn
Mas’ud yang diberi kepercayaan oleh Umar untuk memimpin Kufah.
Di tangannya muncul
sejumlah tabi’in terkemuka, diantaranya :
a.
‘Alqamah ibn Qais
Ia
lahir disaat Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn
Mas’ud dan lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer dari Ibn Mas’ud.
Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Imam
Ahmad berkata, ia seorang tsiqah dari
ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub
al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61 atau 62 H.
b.
Masruq ibn al-Ajda’ ib Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid
Ia
seorang yang wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas’ud, disamping
meriwayatkan pula dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di bidang
tafsir, alim terhadap Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta
pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan
darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya.
Para penulis al-Kutub al-Sittah juga
mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
c.
Al-Aswad ibn Yazid ibn Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman)
Ia
termasuk pembesar tabi’in dan termasuk periwayat Ibn Mas’ud. Ia meriwayatkan
dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah, Bilal dan yang lain. Ia tsiqah saleh, mengena Kitabullah. Banyak
ulama yang menilainya tsiqah. Para
penulis al-Kutub al-Sittah juga
mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah tahun 74 atau 75 H.
d.
Murrah al-Hamadzani
Ia
adalah Abu Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid, yang
dikenal dengan Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah,
sangat wara’ dan sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn
Ka’b, Abdullah ibn Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah
al-Sya’bi dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang
lain. Banyak ulama yang menilainya tsiqah.
Ia di takhrij oleh para penulis al-Kutub
al-Sittah. Ia wafat tahun 76 H.
e.
Amir al-Sya’bi
Ia
adalah Abu Amr Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi al-Tabi’i
al-Jalil Qadli Kufah. Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn Mas’ud,
meski ia tidak mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan dari Abu
Hurairah, Aisyah, Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
Meski
banyak ilmu, ia sangat berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan
pendapatnya sendiri. Ibn Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id
ibn al-Musayyab dan Amir al-Sya’bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur’an dan
mereka menahan diri dari menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap
hati-hati. Tiga hal yang aku tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati
yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu.
Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang masyhur.
f.
Al-Hasan al-Bashri
Ia
adalah Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar al-Bashri maula
al-Anshar. Ibunya adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir setelah
kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab.
Ia
meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan tabi’in. Ibn
Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun,
ilmuwan yang agung, fashih, tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai
dikatakan bahwa ia adalah tuan kalangan tabi’in. Hadistnya ada di al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110 H
dalam usia 88 tahun.
g.
Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi
Nama
kun-yahnya Abu al-Khaththab al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di Bashrah. Ia
termasuk periwayat Ibn Mas’ud, disamping meriwayatkan dari Anas ibn Malik, Abu
al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah dan yang lain. Ia memiliki
daya hapal yang kuat, luas wawasannya dibidang syair dan memahami benar sejarah
Arab, silsilah mereka dan menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia sangat pandai
dan bidang tafsir dan banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku mendengar Ahmad ibn
Hanbal, dan ia menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya panjang lebar, lalu ia
membeberkan ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang berbagai pendapat dan
tafsir serta menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit sekali engkau
bisa menemui orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin saja. Ia wafat tahun
117 H dalam usia 56, menurut pendapat yang masyhur.[8]
3.
Sekolah Tafsir di Madinah
Adapun di Madinah
al-Munawwarah, tempat memancarnya hidayah dan menancapnya iman, maka ustadz
kaum tabi’in disana adalah seorang sahabat agung Ubai ibn Ka’b. Ditambah sahabat-sahabat
lain yang memilih tetap tinggal di Dar al-Iman.
Dari kalangan tabi’in
yang terkenal dibidang tafsir di Madinah ada tiga, yaitu :
a. Abu al-Aliyah adalah Rafi’ ibn
Mihran al-Rayyabi maula al-Rayyabi
Ia
msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk periwayat Ubai
ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Rabi’ ibn Anas,
seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama
memberikannya kesaksian akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah telah menyepakatinya.
Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.
b. Muhammad ibn Ka’b al-Quradhi
Ia
telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di samping meriwayatkan
dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah
(perantara). Ia dikenal tsiqah, adil
dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil Al-Qur’an. Ibn Aun berkata, aku
belum pernah melihat orang yang lebih alim tentang takwil Al-Qur’an dibanding
al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk pemuka warga Madinah dalam hal ilmu
dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub
al-Sittah. Ia wafat tahun 118 H.
c. Zaid ibn Aslam
Ia
adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih al-Mufassir
Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi’in dan termasuk imam
tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsqah-an
dan keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan
Al-Qur’an dengan ra’yunya. Banyak
yang mengambil tafsir darinya, yang terkenal di antaranya adalah putranya,
Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar al-Hijrah. Ia wafat tahun 136 H.
C.
SUMBER-SUMBER TAFSIR PADA MASA
TABI’IN
Dari uraian diatas
nyatalah bahwa tafsir pada masa sahabat tafsir
ma’tsur-nya tidak lebih dari pendapat para sahabat. Adapun sesudah mereka,
maka sekolah-sekolah tafsir di masa tabi’in telah berbuah dan berlimpah
panennya. Banyak sakali pendapat tabi’in, di samping pendapat ahli Kitab yang
sudah masuk Islam. Karena itu dapat diringkaskan sumber-sumber tafsir pada masa
tabi’in sebagai berikut :
- Tafsir sebagai Al-Qur’an terhadap sebagian lainnya.
- Tafsir Rasulullah SAW terhadap sejumlah ayat.
- Tafsir yang berasal dari sahabat.
- Tafsir yang diambil tabi’in dari ahli Kitab yang telah masuk Islam yang sumbernya adalah Kitab-kitab suci mereka.
- Ijtihad para tabi’in sendiri sebagai buah dari kajian mereka terhadap Kitabullah dan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab.[9]
Kritik Terhadat Riwayat dari Tabi’in
Dari
uraian diatas jelaslah bahwa riwayat dari tabi’in memuat sekian riwayat dari
ahli Kitab yang telah masuk Islam di samping pendapat dan ijtihad tabi’in
sendiri. Riwayat seperti ini nilainya lebih rendah dan mendorng banyak ulama
untuk menghindari riwayat dari mereka. Sudah dijelaskan perbedaan pendapat
berkenaan dengan tafsir tabi’in dan pendapat mereka.
a.
Abdullah ibn Salam
Ia
adalah Abu Yusuf Abdullah ibn Salam ibn al-Harits al-Isra’iliy al-Anshari
sekutu Bani Auf al-Khazraji, merupakan generasi Yusuf ibn Ya’qub a.s. Ia masuk Islam pada tahun
hijrah pertama, ketika Rasulullah SAW. Imam Bukhari di dalam shahihnya mentakhrij sejarah masuk
Islamnya sebagai berikut:
Ketika
Nabi SAW datang, Abdullah ibn Salam mendatangi beliau, lalu berkata, aku
bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah dan membawa kebenaran. Kaum Yahudi
tahu bahwa aku adalah Tuan mereka dan Anak Tuan mereka, yang paling alim di
antara mereka. Maka undanglah mereka. Tanyakan kepada mereka tentang diriku
kepada mereka sebelum mereka tahu bahwa aku telah masuk Islam.
Abdullah
ibn Salam termasuk orang-orang yang membela Utsman ibn Affan saat Utsman
terbunuh oleh orang-orang membuat makar. Ia berkhutbah dihadapan mereka
menyampaikan ancaman akan akibat buruk yang akan mereka peroleh. Namun mereka
tidak mau mendengar nasehatnya. Tak lama kemudian mereka membunuh Utsman r.a.
Ibn Salam meriwayatkan hadits dari Nabi SAW langsung. Yang meriwayatkan darinya
adalah kedua putranya, Yusuf dan Muhammad, Abu Hurairah, Auf ibn Malik, Atha
ibn Yassar dan lain-lain.
Posisi ilmiahnya
Abdullah ibn Salam adalah Yahudi yang paling
alim dan putra dari Yahudi yang paling alim, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah riwayat yang shahih. Kepadanya bergabung ilmu Taurat dan ilmu Al-Qur’an
setelah ia masuk. Banyak mufassir yang telah meriwayatkan darinya mengenai
berita-berita dan kisah (Isra’iliyyat). Ibn Jarir juga banyak menisbatkan
kepadanya di dalam Tarikhnya
berita-berita yang bersifat sejarah dan lainnya.
b.
Ka’b al-Ahbar
Ia
adalah Ka’b ibn Mani’ al-Himyari, yang dikenal dengan Ka’b al-Ahbar. Asalnya
adalah Yahudi Yaman. Ada yang mengatakan bahwa ia menjumpai masa Jahiliyah dan
masuk Islam pada masa Umar ibn Khaththab r.a. Ada juga yang mengatakan bahwa ia
masuk Islam pada masa Abu Bakar. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia masuk
Islam pada masa Nabi SAW. Namun hijrahnya agak belakangan. Pendapat yang mahsyr
adalah bahwa ia masuk Islam pada masa Umar, sebagaimana dikatakn ibn Hajar.
Ibn
Sa’d menuturkan di dalam thabaqah
pertama dari kaum tabi’in Syam. Ia meriwayatkan dari Rasulullah SAW secara
mursal. Ia juga meriwayatkan dari Umar, Shuhaib dan Aisyah. Yang meriwayatkan
darinya adalah Abu Hurairah, Ibn Abbas, Mu’awiyah, Atha’ ibn Abi Rabah dan
lain-lain. Ia wafat pada tahun 32 H, menurut pendapat yang paling kuat.
Posisi ilmiahnya
Ka’b al-Ahbar dikenal memiliki ilmu yang sangat
luas, sampai disebut Ka’b al-Habr (yakni orang yang sangat alim) dan Ka’b
al-Ahbar. Telah diriwayatkan darinya dibidang tafsir dan yang lain riwayat yang
sangat banyak, yang menunjukkan keluasan wawasannya dan telaahnya terhadap dua
kebudayaan, Islam dan Yahudi.
Di dalam al-Thabaqat
al-Kubra bahwa setelah masuk Islam, ia masih tetap merujuk kitab Taurat,
dan dari segi kualitas pribadi. Ia adalah seorang yang tsiqah dan adil. Ibn Abbas, Abu Hurairah dan yang lain meriwayatkan
darinya. Imam Muslim juga mentakhrijnya di dalam kitab Shahihnya.
c.
Wahb ibn Munabbih
Ia
adalah Abu Abdillah Wahb ibn Munabbih al-Yamani al-Shan’ani, termasuk tabi’in
pilihan dan ilmuwan mereka. Ia termasuk keturunan Persi. Orang tuanya berasal dari
Khurasan. Kisra mengusirnya ke Yaman. Lalu ia masuk Islam pada masa Nabi SAW.
Ia lahir tahun 34 H dan meninggal tahun 110 H. Ia termasuk ahli ibadah. Sampai
selama 20 tahun ia salat Fajar dengan wudlu saat Isya.
Ia
meriwayatkan dari Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudriy, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn
Amr, Jabir dan Anas. Imam Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, al-Tirmidzi dan Abu Daud
mentakhrijnya.
Posisi ilmiahnya
Wahb ibn Munabbih sangat luas ilmunya, banyak
menelaah kitab-kitab terdahulu dan menguasai berita-berita dan kisah-kisah
tentang awal penciptaan. Ia juga menulis tentang perang-perang Nabi SAW dan
berita-berita para raja.[10]
Ia tertuduh sedikit condong kepada paham qadar, kemudian mencabutnya. Demikian riwayat al-Imam Ahmad. Hammad
ibn Salamah meriwayatkan dari Abu Sinan, katanya ia mendengar Wahb ibn Munabbih
berkata, aku pernah berpaham qadar.
Sampai aku telah membaca lebih dari 70 kitab yang diturunkan kepada para Nabi.
Semuanya menyebutkan: “Siapa yang menjadikan sedikit masyi’ahnya kepada dirinya
sendiri, maka ia telah kafir.” Lalu aku mencabut pahamku itu.
Ini
menunjukkan bahwa ia sangat menguasai banyak kitab samawi terdahulu, seperti
ditunjukkan bahwa ia tidak lagi memegangi ideologinya yang sesat, yakni paham qadar. Melainkan ia beralih kepada paham
yang benar, yakni akidah Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Karena itu tidak benar
mengkritiknya dari sudut ini, setelah nyata bahwa ia telah mencabut paham
sesatnya itu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridh, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, oleh Ahmad Akrom, Jakarta: Raja Press 1992.
Al-Dzahabi,Muhammad Husein, al-Tafsir wa
Al-Mufassirin, Juz I, Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976.
Rosihan Anwar, Ulum
Al-Qur’an, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2008
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an,
Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1990.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an , Bandung,: Mizan: 1992
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Alqur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Terj. Qodirun
Nur dan Ahmad Musyafiq, M. Ag, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007
Zainul hasan Rifai, Al-Qur’an; kisah Israiliyat
dalam penafsiran Al-Qur’an, tertulis dalam Al-Hikmah; Jurnal Studi-Studi
Islam, No. 13; Bandung:
Yayasan Muthahhari, 1994